December 25, 2008

Bekerja Keras ?

Pagi ini seorang ibu menelepon sembari menangis terisak-isak. Ibu ini tidak bertanya tentang apapun. Pada intinya ia hanya menumpahkan segala perasaannya tentang deraan hidup yang menurutnya makin menyiksa. Ibu ini bercerita bahwa ia adalah seorang single parent dengan satu anak yang masih bersekolah di TK. Ibu ini juga menceritakan bahwa suaminya pergi meninggalkannya begitu saja dua tahun yang lalu. Tanpa berita dan tanpa titipan nafkah.
Sejak ditinggal pergi itu, ia menjadi tulang punggung keluarga. Mengurus anak satu-satunya, mengurus orang tuanya yang sudah renta, dan mengurus adik-adiknya yang masih belum bekerja.

Sambil terus terisak, ia menceritakan bagaimana dirinya begitu keras membanting tulang untuk menopang kehidupan keluarganya. Ia berbisnis dengan berdagang berbagai barang dagangan, mulai di lapak sampai di beberapa kios. Ia juga berbisnis di bidang lain termasuk bisnis perkayuan. Selain itu, ia juga menceritakan beberapa model bisnis lain yang ia terjuni.

Mendengar cerita malang-melintangnya ia di berbagai lini bisnis, saya sempat tercenung.

Seberapa besar sih kebutuhan seorang ibu dengan satu orang anak yang masih di TK? Kalau ia juga menanggung beban orang tua dan adik-adiknya, seberapa beratnyakah itu? Atau, begitu menakutkankah masa depan baginya? Bukankah sebagai manusia, kita hanya perlu makan tiga kali sehari? Bukankah Tuhan Maha Adil dan Maha Pemberi ? Bukankah menyiapkan berbagai kebutuhan di masa depan itu mestilah seperti kita akan hidup selamanya?

Saya seperti melihat adanya ketidakproporsionalan antara apa yang ibu ini butuhkan dengan apa yang menurutnya perlu dikerjakan. Saya menangkap kesan bahwa ibu ini telah bekerja terlalu keras. Saya juga bisa mengira-ngira, bahwa ibu ini mulai terjebak pada berbagai tindakan yang "away" ketimbang "toward".

Ibu ini seperti masuk ke dalam penjara untuk terus "berlari dari" apa yang ia takutkan, dan bukan "mengejar apa" yang ia cita-citakan. Ia terjebak masuk ke dalam sirkuit balap yang tak bergaris finish.

Dengan berusaha se-empatik mungkin saya pun berkata kepadanya, "Ibu, yang namanya bekerja keras itu letaknya di antara malas dan ngoyo. Tentang malas kita sudah mengetahui bahwa Tuhan pun tidak suka pada orang malas. Tentang bekerja keras, di sinilah kita seringkali KEBABLASAN dan seolah merasa bisa menggeser kursi Tuhan".

Sepanjang yang saya ketahui, esensi dasar dari The Law of Attraction adalah sabar, syukur, dan ikhlas. Dan, semua itu berada dalam time frame yang jelas bukan milik manusia.

Maka, bekerja malas jelas bukan pilihan. Akan tetapi, bekerja terlalu keras juga bukan pilihan yang bijaksana. Dengan bekerja terlalu keras, belief system kita akan teracuni oleh pernyataan yang berikut ini:

"Kalo nggak gini caranya, ya gimana bisa dapat?"

Lha...! Tidakkah itu sama saja "mengkudeta" Tuhan dengan memposisikan diri sebagai penentu hasil?

Bekerjalah dengan keras, dan tetap memberi ruang untuk keyakinan akan Tuhan sebagai Hakim yang tertinggi.

Lantas, seberapa keraskah kita harus bekerja? Anda ukurlah sendiri dengan parameter ini:

- Sabar,
- Syukur,
- Ikhlas,
- di dalam kerangka waktu yang bukan milik kita.

Sukses buat Anda semua.
Let It Go, Let It GOD.

--- disadur dari "Bekerja Keras" karya Ikhwan Sopa ---

December 23, 2008

Kepiting

Saat menjelang malam hari di tepi pantai, terlihat para nelayan melakukan kegiatan, yakni menangkap kepiting yang biasanya keluar dari sarang mereka di malam hari. Kepiting-kepiting yang ditangkap oleh nelayan, sebagian kecil akan menjadi lauk santapan sekeluarga, sebagian besar akan di bawa ke pengumpul atau langsung ke pasar untuk di jual.

Para nelayan itu memasukkan semua kepiting hasil tangkapan mereka ke dalam baskom terbuka. Menariknya, baskom tersebut tidak perlu diberi penutup untuk mencegah kepiting meloloskan diri dari situ. Ada yang menarik dari tingkah laku kepiting-kepiting yang tertangkap itu. Mereka sekuat tenaga selalu berusaha keluar dengan menggunakan capit-capitnya yang kuat, tetapi jika ada seekor kepiting yang nyaris meloloskan diri keluar dari baskom, teman-temannya pasti akan berusaha keras menarik kembali ke dasar baskom. Begitulah seterusnya, sehingga akhirnya tidak ada seekor kepiting pun yang berhasil kabur dari baskom. Sebab itulah para nelayan tidak membutuhkan penutup untuk mencegah kepiting keluar dari baskom. Dan kemudian mati hidupnya si kepiting pun ditentukan keesokan harinya oleh si nelayan.

Sungguh menarik kisah dari sifat kepiting tadi, mengingatkan kita pada kehidupan manusia. Kadang tanpa disadari, manusia bertingkah laku seperti kepiting di dalam baskom. Saat ada seorang teman berhasil mendaki ke atas atau berhasil mencapai sebuah prestasi, yang seharusnya kita ikut berbahagia dengan keberhasilan itu, tetapi tanpa sadar, kita justru merasa iri, dengki, marah, tidak senang, atau malahan berusaha menarik atau menjatuhkan kembali ke bawah. Apalagi dalam bisnis atau bidang lain yang mengandung unsur kompetisi, sifat iri, tidak mau kalah akan semakin nyata dan bila tidak segera kita sadari, kita telah menjadi monster, mahluk yang menakutkan yang akhirnya akan membunuh hati nurani kita sendiri.

Gelagat manusia yang mempunyai sifat seperti halnya sifat kepiting yaitu :
1. Selalu sibuk merintangi orang lain yang akan menuju sukses sehingga lupa berusaha untuk memajukan diri sendiri.
2. selalu mencari dan menyalahkan pihak di luar dirinya

Pembaca yang berbahagia.

Tidak perlu cemas dengan keberhasilan orang lain, tidak perlu ada menyimpan iri hati apalagi tindakan yang bermaksud menghalangi teman atau orang lain agar mereka tidak maju. Buang pikiran negatif seperti itu!

Karena sesungguhnya, di dalam persaingan bisnis atau persaingan di bidang apa pun, tidak peduli berakhir dengan kemenangan atau kekalahan, masing-masing dari kita mempunyai hak untuk sukses! Dari pada mempunyai niat menghalangi atau menjatuhkan orang lain, jauh lebih penting adalah kita siap berjuang dan sejauh mana kita sendiri mengembangkan kemampuan dan potensi kita seutuhnya. Sehingga hasil yang akan kita capaipun akan maksimal dan membanggakan!


---diambil dari "Sifat Kepiting" oleh Andrie Wongso ---

December 20, 2008

Gajah Sirkus

Gajah Sirkus... kalau kita lihat lucu sekali tentunya. Anak-anak sampai dewasa akan sangat senang melihat seekor gajah dengan tubuh besar bermain bolayang kecil. Lalu lihat gajah duduk... berdiri dengan dua kaki... dan banyak lagi yang bisa dilakukan Si Gajah Sirkus. Kalau kita lihat gajah tersebut ketika dikandang hanya diikat dengan tali yang kecil dan pada pathok yang tidak terlalu kuat.

Lain cerita kalau kita lihat gajah lampung, berbagai ukuran balok dan gelondongan kayu diangkat oleh gajah keatas truk atau hanya sekedar memindahkan ke tempat lain. Menyusun dengan rapi layaknya manusia. Bukan itu saja, gajah juga sebagai kendaraan berburu, membantu petani bekerja, untuk mejeng dan foto-foto wisatawan dan masih banyak lagi.

Gajah pada lain sisi ada nilai yang mengagumkan. Begitu kuat dan besar. Namun dilain hal tersebut dia juga sebagai penghibur dengan gemulai, lembut menghibur pemirsa sirkus. Belum lagi kebanggan orang yang bisa mejeng dan berfotoria.

Ada hal yang unik dari gajah-gajah tersebut. Dari kecil gajah sirkus diajari oleh Sang Pawang. Gajah dipasang rantai yang kuat pada salah satu kakinya, sehingga tidak dimungkinkan lepas. Setiap hari mereka dilatih, tidak jarang mereka menuai pukulan, cercaan, suara keras dan berbagai hukuman. Sehingga gajah tersebut seperti begitu takut dengan pawangnya. Setelah mereka bisa menuruti perintah pawang, merekaakan diorbitkan seperti halnya bintang film. Mereka akan tampil dengan lembut dipanggung. Sangat terbalik dengan kekuatan dan besarnya badan yang dimiliki.

Gajah sirkus pada saat tidak manggung dia diikat salah satu kakinya pada tiang yang kecil dan tidak kuat. Dia diberikan makan disekitar tiang tersebut. Sehingga dia tidak kemana-mana.

Seandainya gajah tersebut mau dan berani, lepas dari tiang dengan tali yang tidak cukup kuat, bukan hal yang sulit. Karena mengangkat kayu gelondongan bahkan menarik mobil sekalipun gajah kuat. Kenapa hal ini terjadi? Sejak kecil sudah ditanamkan bahwa dia tidak diperbolehkan keluar jauh dan lepas dari talinya. Jika dia berusaha lepas, maka hukuman akan diberikan. Selama bertahun-tahun dalam bahasa kita "ditaklukkan" pawang, mengalami hal demikian.

Dalam fikiran hal tersebut sangat dalam tertanam. Walau pengikat tidak terlalu kuat, dia tidak berusaha lepas karena takut dihukum, takut gagal, takut dan takut. Itu yang tertanam. Karena ketakutan tersebut dia tidak pernah mencoba dan berusaha melakukan sesuatu. Dia pasrah, dari pada dihukum.

Kekuatan fikiran sangat mempengaruhi hasil kerja kita. Fikiran yang negatif dan membuat kita takut untuk mencoba hal apapun, membuat kita terkunci pada kotak yang kecil. Membunuh kretifitas. Kita harus keluar dari kotak tersebut. menghilangkan ketakutan dengan unlimited thinking dan positif thinking... semoga sukses untuk keluar dari kotak, bukan lagi sebagai "Gajah Sirkus".

--- diambil dari "Gajah Sirkus" karya Yant Subianto ---

December 11, 2008

Jejak

Banyak orang masuk ke dalam kehidupan kita, satu demi satu datang dan pergi silih berganti. Ada yang tinggal untuk sementara waktu dan meninggalkan jejak-jejak di dalam hati kita dan tak sedikit yang membuat diri kita berubah.

Alkisah seorang tukang lentera di sebuah desa kecil, setiap petang lelaki tua ini berkeliling membawa sebuah tongkat obor penyulut lentera dan memanggul sebuah tangga kecil. Ia berjalan keliling desa menuju ke tiang lentera dan menyandarkan tangganya pada tiang lentera, naik dan menyulut sumbu dalam kotak kaca lentera itu hingga menyala lalu turun, kemudian ia panggul tangganya lagi dan berjalan menuju tiang lentera berikutnya.
Begitu seterusnya dari satu tiang ke tiang berikutnya, makin jauh lelaki tua itu berjalan dan makin jauh dari pandangan kita hingga akhirnya menghilang ditelan kegelapan malam. Namun demikian, bagi siapapun yang melihatnya akan selalu tahu kemana arah perginya pak tua itu dari lentera-lentera yang dinyalakannya.

Penghargaan tertinggi adalah menjalani kehidupan sedemikian rupa sehingga pantas mendapatkan ucapan: “Saya selalu tahu kemana arah perginya dari jejak-jejak yang ditinggalkannya. ”

Seperti halnya perjalanan si lelaki tua dari satu lentera ke lentera berikutnya, kemanapun kita pergi akan meninggalkan jejak. Tujuan yang jelas dan besarnya rasa tanggung jawab kita adalah jejak-jejak yang ingin diikuti oleh putera puteri kita dan dalam prosesnya akan membuat orang tua kita bangga akan jejak yang pernah mereka tinggalkan bagi kita.

Tinggalkanlah jejak yang bermakna, maka bukan saja kehidupan anda yang akan menjadi lebih baik tapi juga kehidupan mereka yang mengikutinya.

December 6, 2008

Anjing Kecil

Seekor anak anjing yang kecil mungil sedang berjalan-jalan di ladang pemiliknya. Ketika dia mendekati kandang kuda, dia mendengar binatang besar itu memanggilnya. Kata kuda itu : “Kamu pasti masih baru di sini, cepat atau lambat kamu akan mengetahui kalau pemilik ladang ini mencintai saya lebih dari binatang lainnya, sebab saya bisa mengangkut banyak barang untuknya, saya kira binatang sekecil kamu tidak akan bernilai sama sekali baginya”, ujarnya dengan sinis.

Anjing kecil itu menundukkan kepalanya dan pergi, lalu dia mendengar seekor sapi di kandang sebelah berkata : “Saya adalah binatang yang paling terhormat di sini sebab nyonya di sini membuat keju dan mentega dari susu saya. Kamu tentu tidak berguna bagi keluarga di sini”, dengan nada mencemooh.

Teriak seekor domba : “Hai sapi, kedudukanmu tidak lebih tinggi dari saya, saya memberi mantel bulu kepada pemilik ladang ini. Saya memberi kehangatan kepada seluruh keluarga. Tapi omonganmu soal anjing kecil itu, kayanya kamu memang benar. Dia sama sekali tidak ada manfaatnya di sini.”

Satu demi satu binatang di situ ikut serta dalam percakapan itu, sambil menceritakan betapa tingginya kedudukan mereka di ladang itu. Ayam pun berkata bagaimana dia telah memberikan telur, kucing bangga bagaimana dia telah mengenyahkan tikus-tikus pengerat dari ladang itu. Semua binatang sepakat kalau si anjing kecil itu adalah mahluk tak berguna dan tidak sanggup memberikan kontribusi apapun kepada keluarga itu.

Terpukul oleh kecaman binatang-binatang lain, anjing kecil itu pergi ke tempat sepi dan mulai menangis menyesali nasibnya, sedih rasanya sudah yatim piatu, dianggap tak berguna, disingkirkan dari pergaulan lagi…..

Ada seekor anjing tua di situ mendengar tangisan tersebut, lalu menyimak keluh kesah si anjing kecil itu.

“Saya tidak dapat memberikan pelayanan kepada keluarga disini, sayalah hewan yang paling tidak berguna disini.”

Kata anjing tua itu : “Memang benar bahwa kamu terlalu kecil untuk menarik pedati, kamu tidak bisa memberikan telur, susu ataupun bulu, tetapi bodoh sekali jika kamu menangisi sesuatu yang tidak bisa kamu lakukan. Kamu harus menggunakan kemampuan yang diberikan oleh Sang Pencipta untuk membawa kegembiraan. ”

Malam itu ketika pemilik ladang baru pulang dan tampak amat lelah karena perjalanan jauh di panas terik matahari, anjing kecil itu lari menghampirinya, menjilat kakinya dan melompat ke pelukannya. Sambil menjatuhkan diri ke tanah, pemilik ladang dan anjing kecil itu berguling-guling di rumput disertai tawa ria.

Akhirnya pemilik ladang itu memeluk dia erat-erat dan mengelus-elus kepalanya, serta berkata : “Meskipun saya pulang dalam keadaan letih, tapi rasanya semua jadi sirna, bila kau menyambutku semesra ini, kamu sungguh yang paling berharga di antara semua binatang di ladang ini, kecil kecil kamu telah mengerti artinya kasih……”

Jangan sedih karena kamu tidak dapat melakukan sesuatu seperti orang lain karena memang tidak memiliki kemampuan untuk itu, tetapi apa yang kamu dapat lakukan, lakukanlah itu dengan sebaik-baiknya. …

Dan jangan sombong jika kamu merasa banyak melakukan beberapa hal pada orang lain, karena orang yang tinggi hati akan direndahkan dan orang yang rendah hati akan ditinggikan.

--- diambil dari "Anjing Kecil" karya anonymous ---

December 3, 2008

Cerita Kura-kura

Ada sekelompok kura-kura memutuskan untuk pergi bertamasya. Dasarnya kura-kura, dari sononya memang sudah serba lambat, untuk mempersiapkan piknik ini saja mereka butuhkan waktu tujuh tahun. Akhirnya kelompok kura-kura ini meninggalkan sarang mereka, untuk pergi mencari tempat yang cocok untuk kegiatan piknik mereka. Baru di tahun kedua mereka temukan lokasi yang sesuai dan cocok.

Selama enam bulan mereka membersihkan tempat itu, membongkar semua keranjang perbekalan piknik dan membenahi tempat itu. Lalu mereka baru sadar dan lihat bahwa ternyata mereka lupa membawa garam. Astaga.. sebuah piknik tanpa garam?! Mereka serentak berteriak dan sepakat bahwa ini bisa menjadi sebuah bencana luar biasa. Setelah panjang lebar berdiskusi, seekor kura-kura hijau diputuskan terpilih untuk mengambil garam di rumah mereka. Meskipun ia termasuk kura-kura tercepat dari semua kura-kura yang lambat, si kura-kura hijau ini mengeluh, merengek, menangis dan meronta-ronta dalam batoknya tanda tak suka dengan tugas yang diberikan kepadanya. Namun atas desakan semua pihak akhirnya dengan terpaksa dia bersedia pergi tapi dengan sebuah syarat, bahwa tidak satupun dari mereka boleh makan sebelum da kembali membawa garamnya.

Mereka semua setuju dan si kura-kura hijau ini berangkatlah. Tiga tahun lewat dan kura-kura hijau itu masih juga belum kembali. Lima tahun.. enam tahun.. lalu memasuki tahun ketujuh kepergiannya, seekor kura-kura tua sudah tak kuat menahan laparnya. Lalu dia mengumumkan bahwa ia begitu lapar dan mengajak lainnya untuk makan dan mulailah dia membuka kotak perbekalan.

Pada saat itu juga tiba-tiba muncul si kura-kura hijau dari balik akar pohon dan berteriak keras: "Lihat!! Benar kan!? Aku tahu kalian pasti tak sabar menungguku, kalau begini caranya aku tidak mau pergi mengambil garam."

Sementara orang sering memboroskan waktu sekedar untuk menunggu hingga orang lain memenuhi harapannya. Dan sebaliknya, dia juga sering begitu kuatir, prihatin, sering-sering malah terlalu memperdulikan apa yang dikerjakan orang lain sampai-sampai dan bahkan tak ada apapun yang dia perbuat.

---diambil dari "Kura-Kura" karya Haryo Ardito---

Anak Rajawali

Di tengah hutan belantara, di atas sebuh pohon yang tinggi besar dan berdaun lebat, bersaranglah seekor burung rajawali. Dalam sarang tersebut terdapat beberapa telur yang siap menetas. Pada suatu hari, datanglah angin kencang yang menerjang pohon tersebut sehingga satu dari telur-telur rajawali tersebut jatuh. Namun beruntung, telur tersebut jatuh tepat di atas sarang seekor ayam (hutan) sehingga tidak pecah. Kemudian telur tersebut menggelinding menyatu dengan telur-telur ayam yang sedang dierami sang induk.

Hari berganti hari, akhirnya telur rajawali tersebut menetas juga bersama telur-telur ayam lainnya. Dijalaninya hari-hari baru dengan anak ayam yang lain dengan rukun dan ceria. Ke mana-mana mereka bersama, mencari makan dan bermain menelusuri pelosok hutan. Semakin hari tubuh anak rajawali semakin besar dan ia melihat perbedaan fisiknya dengan anak ayam yang lain sehingga timbul penasaran dalam hatinya.

Suatu hari ia memberanikan bertanya kepada induknya, "Bu, kenapa tubuhku berbeda dengan yang lain? Kenapa tubuhku lebih besar dan sayapku lebih lebar?"

Namun sang induk enggan menjawab pertanyaan itu. Akhirnya anak rajawali pun hanya bisa diam dengan rasa ingin tahu yang terpendam di dada. Lama-kelamaan ia pun tak lagi menghiraukan penasarannya itu.

Suatu ketika ia melihat seekor rajawali sedang terbang tinggi di angkasa. "Oh, betapa indah dan hebatnya rajawali itu, terbang menjelajah di angkasa. Alangkah gagahnya…" gumamnya dalam hati. Ia pandangi rajawali yang sedang terbang itu dengan kagum. Sejak saat itu ia sering menyendiri dan merenung. Ia ingin sekali bisa terbang seperti rajawali tersebut.

Beberapa hari kemudian ia kemukakan keinginannya untuk bisa terbang pada sang induk ayam. Namun dengan ketus sang induk hanya berkata, "Kamu hanya seekor anak ayam, mana mungkin bisa terbang seperti rajawali… Kamu jangan mimpi yang aneh-aneh, nak!"

Tak peduli dengan apa yang dikatakan sang induk, ia pun berusaha mengepakkan sayapnya. Tapi setiap kali ia berlatih terbang, maka anak ayam yang lain mengejeknya dan berkata, "Kamu ingin terbang? Ha..ha..ha.., kamu gila! Kamu kan anak ayam, mana mungkin bisa terbang."

Mendengar itu semua, anak rajawali itu pun menjadi sedih dan patah semangat. Lambat laun ia pun melupakan impiannya untuk bisa terbang. Akhirnya ia pun hidup dengan pikiran seekor ayam, menjalani kehidupan laksana seekor ayam dan akhirnya matipun sebagai seekor ayam. Sungguh malang nasibnya…

Nah, sahabat yang budiman. Tahu nggak? Sebenarnya kita semua adalah anak rajawali, sama seperti anak rajawali tersebut di atas. Sesungguhnya kita bisa terbang tinggi menjelajah angkasa dengan gagah perkasa.

Sesungguhnya kita terlahir sebagai anak rajawali dan memiliki potensi naluriah sebagai seekor rajawali yang gagah perkasa. Namun malangnya, kita hidup di lingkungan ayam, mengadopsi pemikiran-pemikiran ayam, dan akhirnya hidup sebagai seekor ayam. Kita dengan kejam mengubur impian-impian kita untuk bisa terbang di angkasa sebagai rajawali sebagaimana mestinya. Kita terlalu pasrah dengan keadaan, dan akhirnya mati membusuk sebagai seekor ayam.

Maka sahabat, kalau kita benar-benar ingin terbang, kita harus berani mengepakkan sayapnya dan melompat. Tak peduli sebanyak apa kita jatuh, maka sebanyak itu pula kita melompat lagi. Percayalah kita pasti bisa karena kita adalah anak rajawali!

Kalau kita benar-benar ingin terbang, kita harus berani keluar dari konteks seekor ayam dan berpikir dengan konteks rajawali. Yakinlah kita pasti bisa karena kita adalah anak rajawali!

Lihatlah sahabat, angkasa membentang indah tak bertepi. Kita dapat melihat keindahan bumi manapun dari sini. Kita bisa pergi ke manapun yang kita mau. Kita bisa menjadi diri kita sendiri!

Sungguh bahagia sahabat, menjadi diri kita yang sesungguhnya, memanifestasikan anugerah Sang Pencipta yang ada pada diri kita. Tunggu apalagi sahabat, kepakkan sayapmu! Terbanglah!

--- diambil dari "Anak Rajawali" karya Agus Riyanto ---

December 1, 2008

Kasih Ibu Tiada Tara

Alkisah di sebuah desa, ada seorang ibu yang sudah tua, hidup berdua dengan anak satu-satunya. Suaminya sudah lama meninggal karena sakit. Sang ibu sering meratapi nasibnya memikirkan anaknya yang mempunyai tabiat sangat buruk yaitu suka mencuri, berjudi, mabuk, dan melakukan tindakan-tindakan negatif lainnya. Ia selalu berdoa memohon, "Tuhan, tolong sadarkan anak yang kusayangi ini, supaya tidak berbuat dosa lagi. Aku sudah tua dan ingin menyaksikan dia bertobat sebelum aku mati." Tetapi, si anak semakin larut dengan perbuatan jahatnya.

Suatu hari, dia dibawa kehadapan raja untuk diadili setelah tertangkap lagi saat mencuri dan melakukan kekerasan di rumah penduduk desa. Perbuatan jahat yang telah dilakukan berkali-kali, membawanya dijatuhi hukuman pancung. Diumumkan ke seluruh desa, hukuman akan dilakukan di depan rakyat desa keesokan harinya, tepat pada saat lonceng berdentang menandakan pukul enam pagi.

Berita hukuman itu membuat si ibu menangis sedih. Doa pengampunan terus dikumandangkannya sambil dengan langkah tertatih dia mendatangi raja untuk memohon anaknya jangan dihukum mati. Tapi keputusan tidak bisa dirubah! Dengan hati hancur, ibu tua kembali ke rumah.

Keesokan harinya, di tempat yang sudah ditentukan, rakyat telah berkumpul di lapangan pancung. Sang algojo tampak bersiap dan si anak pun pasrah menyesali nasib dan menangis saat terbayang wajah ibunya yang sudah tua.

Detik-detik yang dinantikan akhirnya tiba. Namun setelah lewat lima menit dari pukul 06.00, lonceng belum berdentang. Suasana pun mulai berisik. Petugas lonceng pun kebingungan karena sudah sejak tadi dia menarik tali lonceng tapi suara dentangnya tidak ada. Saat mereka semua sedang bingung, tibatiba dari tali lonceng itu mengalir darah. Seluruh hadirin berdebar-debar menanti, apa gerangan yang terjadi? Ternyata di dalam lonceng ditemui tubuh si ibu tua dengan kepala hancur berlumuran darah. Dia memeluk bandul dan menggantikannya dengan kepalanya membentur di dinding lonceng.

Si ibu mengorbankan diri untuk anaknya. Malam harinya dia bersusah payah memanjat dan mengikatkan dirinya ke bandul di dalam lonceng, agar lonceng tidak pernah berdentang demi menghindari hukuman pancung anaknya.

Semua orang yang menyaksikan kejadian itu tertunduk dan meneteskan air mata. Sementara si anak meraung-raung menyaksikan tubuh ibunya terbujur bersimbah darah. Penyesalan selalu datang terlambat!

Pembaca yang budiman,

Kasih ibu kepada anaknya sungguh tiada taranya. Betapun jahat si anak, seorang ibu rela berkorban dan akan tetap mengasihi sepenuh hidupnya. Maka selagi ibu kita masih hidup, kita layak melayani, menghormati, mengasihi, dan mencintainya. Perlu kita sadari pula suatu hari nanti, kitapun akan menjadi orang tua dari anak-anak kita, yang pasti kita pun ingin dihormati, dicintai dan dilayani sebagaimana layaknya sebagai orang tua.

Bila hidup diantara keluarga ataupun sebagai sesama manusia jika kita bisa saling menghargai, menyayangi, mencintai, dan melayani, niscaya hidup ini akan terasa lebih indah dan membahagiakan.

--- karya Andrie Wongso ---