January 29, 2009

Bekerja Keras ?

Pagi ini seorang ibu menelepon saya sembari menangis terisak-isak. Ibu ini tidak bertanya tentang apapun. Pada intinya ia hanya menumpahkan segala perasaannya tentang deraan hidup yang menurutnya makin menyiksa.

Ibu ini bercerita bahwa ia adalah seorang single parent dengan satu anak yang masih bersekolah di TK. Ibu ini juga menceritakan bahwa suaminya pergi meninggalkannya begitu saja dua tahun yang lalu. Tanpa berita dan tanpa titipan nafkah.

Sejak ditinggal pergi itu, ia menjadi tulang punggung keluarga. Mengurus anak satu-satunya, mengurus orang tuanya yang sudah renta, dan mengurus adik-adiknya yang masih belum bekerja.

Sambil terus terisak, ia menceritakan bagaimana dirinya begitu keras membanting tulang untuk menopang kehidupan keluarganya. Ia berbisnis dengan berdagang berbagai barang dagangan, mulai di lapak sampai di beberapa kios. Ia juga berbisnis di bidang lain termasuk bisnis perkayuan. Selain itu, ia juga menceritakan beberapa model bisnis lain yang ia terjuni.

Mendengar cerita malang-melintangnya ia di berbagai lini bisnis, saya sempat tercenung.

Seberapa besar sih kebutuhan seorang ibu dengan satu orang anak yang masih di TK? Kalau ia juga menanggung beban orang tua dan adik-adiknya, seberapa beratnyakah itu? Atau, begitu menakutkankah masa depan baginya? Bukankah sebagai manusia, kita hanya perlu makan tiga kali sehari? Bukankah Tuhan Maha Adil dan Maha Pemberi Rizki? Bukankah menyiapkan berbagai kebutuhan di masa depan itu mestilah seperti kita akan hidup selamanya?

Saya seperti melihat adanya ketidakproporsionalan antara apa yang ibu ini butuhkan dengan apa yang menurutnya perlu dikerjakan. Saya menangkap kesan bahwa ibu ini telah bekerja terlalu keras. Saya juga bisa mengira-ngira, bahwa ibu ini mulai terjebak pada berbagai tindakan yang "away" ketimbang "toward".

Ibu ini seperti masuk ke dalam penjara untuk terus "berlari dari" apa yang ia takutkan, dan bukan "mengejar apa" yang ia cita-citakan. Ia terjebak masuk ke dalam sirkuit balap yang tak bergaris finish.

Dengan berusaha se-empatik mungkin saya pun berkata kepadanya, "Ibu, yang namanya bekerja keras itu letaknya di antara malas dan ngoyo. Tentang malas kita sudah mengetahui bahwa Tuhan pun tidak suka pada orang malas. Tentang bekerja keras, di sinilah kita seringkali KEBABLASAN dan seolah merasa bisa menggeser kursi Tuhan".

Sepanjang yang saya ketahui, esensi dasar dari The Law of Attraction adalah sabar, syukur, dan ikhlas. Dan, semua itu berada dalam time frame yang jelas bukan milik manusia.

Maka, bekerja malas jelas bukan pilihan. Akan tetapi, bekerja terlalu keras juga bukan pilihan yang bijaksana. Dengan bekerja terlalu keras, belief system kita akan teracuni oleh pernyataan yang berikut ini:
"Kalo nggak gini caranya, ya gimana bisa dapat?"
Lha...! Tidakkah itu sama saja "mengkudeta" Tuhan dengan memposisikan diri sebagai penentu hasil?
Bekerjalah dengan keras, dan tetap memberi ruang untuk keyakinan akan Tuhan sebagai Hakim yang tertinggi.

Lantas, seberapa keraskah kita harus bekerja? Anda ukurlah sendiri dengan parameter ini:
- Sabar,
- Syukur,
- Ikhlas,
- di dalam kerangka waktu yang bukan milik kita.

Let It Go, Let It GOD.

--- disadur dari "Jangan bekerja terlalu keras" karya Ikhwan Sopa ---

No comments: